Selasa, 30 Agustus 2011

SCHOOL BASED MANAGEMENT ALTERNATIF PENGELOLAAN SEKOLAH

SCHOOL BASED MANAGEMENT  ALTERNATIF PENGELOLAAN  SEKOLAH MENUJU DESENTRALISASI BIDANG PENDIDIKAN




1.1  Latar belakang
Pasal 51 UU Sistem Pendidikan Nasional No. 20/2003 menyatakan bahwa “Pengelolaan satuan pendidikan anak usia dini, Pendidikan dasar, dan Pendidikan menengah dilaksanakan berdasarkan standar pelayanan minimal dengan prinsip manajemen berbasis sekolah/madrasah”. Manajemen Berbasis Sekolah ( MBS ) merupalan konsep pengelolaan sekolah yang ditujukan untuk meningkatkan mutu pendidikan di era desentralisasi pendidikan.
Usaha peningkatan mutu pendidikan di tingkat pendidikan dasar telah banyak dilakukan tetapi hasilnya belum begitu menggembirakan. Bernagai studi dan pengamatan langsung di lapangan menunjukkan bahwa paling sedikit ada tiga faktor yang menyebabkan mutu pendidikan tidak mengalami peningkatan secara merata.
a.       Pertama, kebijakan penyelenggaraan pendidkan nasional yang berorientasi pada keluaran atau hasil pendidikan terlalu memusatkan pada masukan dan kurang memperhatikan proses pendidikan.
b.      Kedua, Penyelenggaraan pendidikan dilakukan secara sentralistik. Hal ini menyebabkan tingginya ketergantungan kepada keputusan birokrasi dan seringkali kebijakan pusat terlalu umum dan kurang menyentuh atau kurang sesuai dengan situasi dan kondisi sekolah setempat. Di samping itu segala sesuatu yang terlalu diatur menyebabkan penyelenggara sekolah kehilangan kemandirian, inisiatif dan kreatifitas. Hal tersebut menyebabkan usaha dan daya untuk mengembangkan atau meningkatkan mutu layanan dan keluaran pendidikan menjadi kurang termotivasi.
c.       Ketiga, peran serta masyarakat terutama orang tua siswa dalam penyelenggaraan pendidikan selama ini hanya terbatas pada dukungan dana. Padahal peran serta mereka sangat penting di dalam proses pendidikan antara lain pengambilan keputusan, pemantauan, evaluasi dan akuntabilitas.
Atas dasar pertimbangan tersebut, perlu dilakukan orientasi kembali tentang penyelenggaraan pendidikan melalui Manajemen Berbasis Sekolah ( MBS ).
            Saat ini sedang berlangsung perubahan paradigma manajemen pemerintahan. Beberapa perubahan tersebut antara lain :
a.       Dari orientasi manajemen yang diatur oleh Negara ke orientasi pasar. Aspirasi masyarakat menjadi pertimbangan  pertama dalam mengolah dan menetapkan kebijakan untuk mengatasi persoalan yang timbul.
b.      Dari orientasi manajemen pemerintahan yang otoritarian ke demokrasi. Pendekatan kekuasaan bergeser ke system yang mengutamakan peranan rakyat. Kedaulatan rakyat menjadi pertimbangan utama dalam tatanan yang demokratis.
c.       Dari Sentralisasi kekuasaan ke desentralisasi kewenangan.  Kekuasaan tidak lagi terpusat di satu tangan melainkan dibagi ke beberapa pusat kekuasaan secara seimbang.
d.      Sistem pemrintahan yang jelas batas dan aturannya sekan-akan menjadi negara yang sudah tidak jelas lagi batasnya akibat pengaruh dari  tata aturan global. Keadaan ini membawa akibat tata-aturan yang hanya menekannya tata-aturan nasional saja dan kurang menguntungkan dalam percaturan global.
Fenomena ini berpengaruh terhadap dunia pendidikan sehingga desentralisasi  suatu yang tidak dapat dihindari. Tentu saja desentralisasi pendidikan bukan berkonotasi negatif, yaitu untuk mengurangi wewenang atau intervensi pejabat atau unit pusat melainkan lebih berwawasan keunggulan. Kebijakan umum yang ditetapkan oleh pusat sering tidak efektif karena kurang mempertimbangkan keragaman dan kekhasan daerah. Disamping itu membawa dampak ketergantungan system pengelolaan dan pelaksanaan pendidikan yang tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat setempat, menghambat kreatifitas dan menciptakan budaya menunggu dari atas. Dengan demikian desentralisasi pendidikan bertujuan untuk memperdayakan peranan unit bawah  atau masyarakat dalam menangani persoalan pendidikan di lapangan. Banyak persoalan pedndidikan yang sepatutnya bias diputuskan dan dilaksanakan oleh unit layanan bawah atau masyarakat. Hal ini sejalan dengan apa yang terjadi di kebanyakan negara.
Faktor-faktor pendorong penerapan desentralisasi[i][1] terinci sebagai berikut :
  1. Tuntutan orangtua, kelompok masyarakat, para legislator, pebisnis, dan perhimpunan guru untuk turut serta mengontrol sekolah dan menilai kualitas pendidikan.
  2. Anggapan bahwa struktur pendidikan yang terpusat tidak dapat bekerja dengan baik dalam meningkatkan partisipasi siswa bersekolah. 
  3. Ketidak mampuan birokrasi yang ada untuk merespon secara efektif kebutuhan sekolah setempat dan masyarakat yang beragam
  4. Penampilan kinerja sekolah dinilai tidak memenuhi tuntutan baru dari masyarakat
  5. Tumbuhnya persaingan dalam memperoleh bantuan dan pendanaan.
Desentralisasi pendidikan mencakup tiga hal, yaitu :
  1. Manajemen berbasis lokasi
  2. Pendelegasian wewenang
  3. Inovasi kurikulum.[ii]
1.2 Masalah
Keadaan umum pendidikan di Sekolah saat ini
  1. Sekolah dan masyarakat  kurang merasa bertanggung jawab atas nasib sekolahnya. Situasi seperti ini dapat kita jumpai atau dapat kita lihat dari beberapa prilaku pengelola sekolah :
1.1  Perilaku kepala sekolah
a.        Dalam pengambilan keputusan kebijakan kurang memperhatikan  individu siswa. Sebagian kecil contoh adalah dalam penyusunan jadwal, penyusunan tata tertib sekolah
b.      Kepala sekolah tidak menerapkan prinsip transparansi dalam pengelolaan sekolah. Kepala cenderung tertutup dalam manajemen sekolah baik itu pada guru atau masyarakat sekitar.
c.       Kepala Sekolah memiliki ego yang tinggi, sehingga kurang kooperatif baik dengan para guru ataupun dengan masyarakat  orang tua siswa.
d.      Kurang tertib dalam melakukan dokumentasi suatu kegiatan
e.       Kurang mengadakan pendampingan pembelajaran terhadap guru
f.       Tabu menerima saran atau masukan dari pihak lain, Kepala sekolah  otoriter
1.2  Perilaku guru
a.       Kurang memberi  kesempatan anak didik untuk berkembang sesuai dengan kemapuannya
b.      Kurang menggunakan multi sumber belajar
c.       Bertindak semena-mena terhadap siswa, suka mmeberi hukuman, cemooh dlsb.
d.      Kurang menghargai karya atau pendapat siswa
e.       Belum  menerapkan prinsip sekolah ramah anak ( SRA )
f.       Belum adanya pengaturan tempat duduk siswa yang memungkinkan untuk berinteraksi dengan siswa yang lain.
g.      Prinsip pembelajaran MIKR ( Siswa mengalami, siswa interkasi, siswa komunikasi dan refleksi ) belum dilaksanakan
1.3  Perilaku masyarakat atau orang tua siswa
a.       Acuh tak acuh terhadap perkembangan sekolah
b.      Kurang memperhatikan kebutuhan putra putrinya sebagai siswa
  1. Mutu pendidikan kurang dalam hal…
a.       Terbatasnya pada penghafalan ( tujuan pengajaran hanya untuk tes ).
b.      Kurang mengembangkan keterampilan dan kepribadian anak.

II.  Pembahasan
A. Pengertian
“ School Based Management” merupakan bentuk alternatif pengelolaan sekolah dalam program desentralisasi bidang pendidikan, yang ditandai adanya otonomi luas dalam pengambilan keputusan di tingkat sekolah, partisipasi masyarakat yang tinggi dalam kerangka kebijakan pendidikan nasional. Otonomi diberikan agar sekolah dapat leluasa mengelola sumber-sumber daya yang ada dengan mengalokasikannya sesuai dengan prioritas kebutuhan serta agar sekolah lebih tanggap akan kondisi sesuai dengan kemampuannya. Masyarakat diharapkan lebih meningkat, dengan memahami akan pentingnya pendidikan sehingga dapat memberikan pertimbangan, bantuan serta mengontrol pengelolan pendidikan di sekolah
Adanya otonomi dalam pengelolaan merupakan potensi bagi sekolah untuk meningkatkan kinerja para staf, menawarkan partisipasi langsung kelompok-kelompok yang terkait, dan meningkatkan pemahaman masyarakat terhadap pendidikan. Otonomi sekolah juga berperan dalam menampung konsensus umum yang meyakini bahwa sedapat mungkin, keputusan seharusnya dibuat oleh mereka yang memiliki akses paling baik terhadap informasi setempat, mereka yang bertanggung jawab terhadap pelaksanaan kebijakan dan mereka yang terkena akibat-akibat dari kebijakan tersebut.



B. Tujuan
School Based Management  ditujukan untuk meningkatkan efisiensi, mutu dan pemerataan pendidikan. Peningkatan efisiensi didiperoleh melalui antara lain keleluasan mengelola sumber daya partisipasi masyarakat dan penyederhanaan birokrasi. Sedangkan peningkatan mutu dapat diperoleh melalui partisipasi orang tua terhadap sekolah, flesibilitas pengelolaan sekolah dan kelas, peningkatan profesionalisme guru dan kepala sekolah, berlakunya sistem intensif/disintensif dan lain-lainnya. Peningkatan pemerataan antara lain diperoleh melalui peningkatan partisipasi masyarakat yang memungkinkan pemerintah lebih berkonsentrasi, misalnya hanya pada “kelompok kurang mampu”.
C. Manfaat
Dengan adanya otonomi sekolah dapat lebih menigkatkan keleluasaan dalam mengelola sumberdaya dan dalam menyertakan masyarakat untuk berpartisipasi, mendorong profesionalisme kepala sekolah baik dalam  peranannya sebagai manajer maupun sebagai pemimpin sekolah. Dengan diberikannya kesempatan kepada kepala sekolah untuk menyusun kurikulum, guru didorong untuk berinovasi, dengan melakukan eksperimentasi dilingkungannya. Dengan demikian, School Based Management mendorong prosfesionalisme guru dan kepala sekolah sebagai pemimpin pendidikan disekolah. Prestasi siswa dapat dimaksimalkan melalui peningkatan partisipasi orang tua, misalnya orang tua dapat mengawasi langsung proses belajar anaknya. Aspek-aspek tersebut pada akhirnya akan mendukung efektifitas dalam mencapai tujuan sekolah. Adanya kontrol dari masyarakat dan monitoring dari pemerintah, pengelolaan sekolah menjadi lebih “accountability” transparan, demokratis dan mengahapuskan monopoli dalam pendidikan.
D.  Faktor-faktor Yang Perlu Diperhatikan
1. Kewajiban Sekolah
Sementara “school-based management” menawarkan keleluasaan pengelolaan sekolah, pelaksanaannya perlu disertai seperangkat kewajiban yang juga harus dipenuhi oleh sekolah. Pelaksanaan SBM akan disertai adanya monitoring dan pertanggungjawaban ( accountability ) yang baik. Dengan demikian sekolah dituntut untuk menampilkan pengelolaan sumber daya secara transparan, demokratis, tanpa monopoli dan bertanggung jawab baik terhadap masyarakat maupun pemerintah.
2. Kebijakan dan Prioritas Pemerintah
Pemerintah sebagai penanggung jawab pendidikan berhak merumuskan kebijakan-kebijakan yang menjadi prioritas nasional terutama yang berkaitan dengan program peningkatan melek huruf dan angka ( literacy dan numeracy) atau yang lazim disebut “Calistung”, efisensi, mutu dan pemerataan pendidikan. Dalam hal-hal tersebut, sekolah tidak diperbolehkan untuk berjalan sendiri dengan mengabaikan kebijakan dan standar yang ditetapkan oleh pemerintah yang dipilih secara demokratis.
3. Peranan Orang tua dan Masyarakat
Peranan masyarakat merupakan salah satu aspek terpenting dalam “school-based management.” SBM menyediakan kesempatan yang luas kepada masyarakat untuk berpartisipasi dalam pengelolaan sekolah. Melalui “dewan sekolah” (scholl council), orang tua dan masyarakat dapat dapat berpartisipasi dalam pembuatan keputusan-keputusan disekolah. Dengan demikian, masyarakat dapat lebih memahami, mengawasi dan membantu sekolah dalam pengelolaan termasuk dalam kegiatan belajar-mengajar.
4. Peranan Profesionalisme dan manajerial
Peranan yang bersifat profesionalisme dan manajerial. untuk memenuhi persyaratan pelaksanaan SBM, kepala sekolah, guru dan tenaga administrasi harus mampu berfungsi keduannya.. Kepala sekolah, khususnya perlu mempelajari dengan teliti baik kebijakan dan prioritas pemerintah maupun prioritas sekolah sendiri. Pemahaman terhadap kedua jenis prioritas tersebut sangat penting, agar peningkatan efisiensi, mutu dan pemerataan, serta supervisi dan monitoring yang direncanakan sekolah adalah betul-betul untuk mencapai tujuan pendidikan sesuai denga kerangka kebijakan pemerintah dan tujuan sekolah.         
III. Demokratisasi Pembelajaran
Dewasa ini diakui bahwa tujuan terpenting dari pembelajaran adalah mengembangkan kemampuan mental produktif yang memungkinkan seseorang dapat belajar dengan caranya sendiri apa yang ingin ia pelajari. Kemampuan mental yang produktif dapat terbentuk secara optimal hanya apabila anak mendapat kebebasan berfikir yang cukup untuk bertindak secara mandiri. Kebebasan berfikir untuk bertindak secara mandiri inilah hendaknya dipandang sebagai demokratisasi dalam pembelajaran.
Pertanyaannya adalah, apakah selama ini kita melakukan pembelajaran tidak demokratis?. Demokratisasi pembelajaran  bagaimana yang harus dilakukan?. Untuk menjawab  dua pertanyaan itu dalam tulisan ini dilakukan kajian komparatif antara paradigma behavioristik dan konstruktivistik terhadap aspek-aspek pembelajaran. Dengan membandingkan perbedaan pandangan kedua paradigma ini terhadap makna ilmu pengetahuan, proses belajar mengajar, dan tujuan pembelajaran diharapkan dapat tergambar demokrasi yang seharusnya ada pada proses pembelajaran.
A. Pandangan terhadap Ilmu Pengetahuan, Belajar dan Mengajar.     
Diantara kedua paradigma diatas memiliki pandangan yang berbeda sebagai berikut :
1.  Behavioristik   memandang bahwa ilmu pengetahuan adalah obyektif, pasti dan tetap, tersturktur dengan rapi. Belajar adalah perolehan ilmu dan mengajar adalah memindahkan ilmu pengetahuan ke orang yang belajar. Dengan demikian proses belajar adalah transfer ilmu, guru sebagai pemberi ilmu dan siswa sebagai penerima ilmu, siswa diharapkan memiliki pemahaman yang sama terhadap ilmu yang diajarkannya.
2.  Konstruktivistik memandang bahwa ilmu pengetahuan adalah non obyektif bersifat temporer, dinamis, dan tidak menentu. Belajar adalah penyusunan pengetahuan dari pengalaman konkrit, aktivitas, kolaboratif, refleksi dan interpretasi. Mengajar adalah menciptakan kondisi agar siswa termotivasi dalam menggali makna serta menghargai ketidakpastian, sehingga yang terjadi adalah proses pembelajaran yang berupa transformasi ilmu, dengan dasar ini siswa dapat memiliki pemahaman yang berbeda terhadap suatu pengetahuan, tergantung pada pengalamannya, dan perspektif yang dipakai dalam menginterprestasikannya.
B. Tujuan Pembelajaran
    Tujuan pembelajaran untuk masing-masing paradigma adalah sebagai berikut :
1.      Pardigma Behavioristik menekankan tujuan belajar adalah penambahan ilmu pengetahuan. Hasil pembelajaran adalah penguasaan terhadap produk ilmu yang berupa konsep, teori, prinsip dan hukum yang dipelajarinya, siswa dituntut untuk mengungkapkan kembali ilmu pengetahuan yang sudah dikuasainya dalam bentuk tes, kuis atau laporan.
2.      Paradigma Konstruktivistik menekankan tujuan belajar adalah  bagaimana belajar ( Learning how to learn ). menciptakan pemahaman baru, yang menuntut aktivitas kreatif-produktif dalam konteks nyata dan  mendorong siswa untuk berpikir dan berpikir ulang apa yang sedang dan telah dipelajarinya. Hasil pembelajaran lebih ditekankan pada proses perolehan ilmu baik berupa ketrampilan berpikir maupun strategi berpikir.
IV. Penutup.
Demokrasi adalah hal yang sering dituntut dalam melaksanakan reformasi saat ini. Demokrasi telah masuk ke seluiruh segi kehidupan bermasyarakat. Namun jarang yamg menyadari bahwa sikap demokrasi harus mulai tumbuh dari sikap dan perilaku setiap individu. Cermin sikap demokratis seperti  kebebasan berpikir, penghargaan terhadap keanekaragaman, berani mengemukakan pendapat. tidak muncul begitu saja. Pendidikan disekolah memiliki andil yang sangat besar.
            Sikap demokrasi individu akan berkembang dalam lingkungan yang demokratis, menciptakan kondisi demokratis di sekolah adalah prasyarat terjadinya demokratisasi dalam pembelajaran.       
Semoga tulisan ini dapat memberikan pemicu untuk menumbuhkan kehidupan demokrasi khususnya di setiap lembaga/sekolah.

















[1] NCREL, 1995, Decentralization : Why, How, and Toward What End ? NCREL’s Policy Briets, report  1, 19983 dalam Nuril Huda “ Desentralisasi Pendidikan: Pelaksanaan dan Permasalahannya”. Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, No. 017, Tahun Ke -5, Juni 1999.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar